Rabu, 27 Juni 2012

Mental Block

Saya pernah menemui artikel mengenai 'penyakit' ini dua tahun lalu di sebuah tabloid kesehatan, tepat saat saya sedang jatuh-bangun membuat skripsi. haha. Mental block dapat menjangkit siapapun baik tua maupun muda. Dari dua kata mental 'mental' dan block 'penghalang', kita dapat menebak gambaran dari 'penyakit' ini. Dalam KBBI, mental memiliki arti bersangkutan dengan batin dan watak manusia, sedangkan  penghalang memiliki arti yang menghalang. 

Mental block menjadi musuh terbesar bagi para pekerja masa ini yang menuntut semua orang untuk berpikir di luar batas atau sering kita kenal dengan istilah 'think out of the box'. Persaingan ekonomi yang super ketat mengharuskan para pengusaha untuk berproduksi lebih cepat dan berlomba memenuhi hasrat para konsumen. Para pekerja pun dituntut untuk memenuhi ritme bekerja yang lebih cepat. Para pelajar tak luput dari jeratan mental block. Sistem ajaran di negara kita menuntut para pelajar untuk mendapatkan hasil akhir yang memuaskan. Sekarang proses bukan lagi menjadi hal yang penting. Hasil akhirlah yang menentukan siapa 'si pintar' dan 'si bodoh'. Tentunya, bukan sistem saja yang membuat hasil akhir menjadi sangat penting di mata masyarakat, melainkan masyarakat itu sendiri. Coba kita tengok iklan lowongan kerja di koran maupun di media online. Sebagian besar memuat IPK minimum angka tertentu. Tentunya, ukuran IPK menjadi momok penting dalam penentuan pencari pekerja. Karena itu, pertanyaan "berapa IPK-mu?" menjadi hal umum bagi para fresh graduate. Tuntutan-tuntutan itu menjadi salah satu ketakutan para pelajar dan mahasiswa karena prestasi mereka diukur dari hasil akhir. Mereka yang tidak mendapatkan hasil akhir memuaskan menjadi minder karena sudah tertanam di benak mereka bahwa yang pintar itu yang memiliki hasil akhir bagus. Padahal, di dunia kerja yang saya jalani, pintar bukanlah nilai mutlak, namun yang paling penting adalah seberapa cepat kita beradaptasi dan menyerap pekerjaan.


Ketakutan dan sikap pesimis dapat membangun tembok-tembok dalam pikiran kita. Tembok-tembok itulah nantinya yang membatasi pikiran dan pandangan kita. Kita justru kerap menemukan diri kita sudah terkungkung dengan paham konvensional yang berlaku di tengah masyarakat dan rutinitas yang menyebabkan diri kita tidak kreatif dan optimis. Terobosan, pembaruan, dan inovasi adalah tuntutan zaman sekarang. kita tidak lagi menganggap bahwa semua terobosan yang kita hasilkan adalah hasil kreativitas yang istimewa.   Secepatnya, kita harus segera berpikir bahwa 'kotak' yang kita rasa mengurung diri kita hanyalah paradigma yang perlu dicabut dari benak kita. Di saat sekarang, setiap orang harus cerdik, tidak pernah boleh berhenti, dan tidak bisa merasa berada di titik kepuasan atau zona nyaman.
(http://female.kompas.com/read/2011/06/24/20390562/Membebaskan.Diri.dari.Mental.Block.)

Saya sendiri pun pernah beberapa kali mengalami mental block. Jujur saja, hal itu membuat saya kalah sebelum berperang. Ketakutan akan kegagalan menghalangi saya untuk maju dan memilih mundur. Namun, saya memilih untuk berlarut-larut dalam jurang pesismis. Begitu ketakutan menghadang, saya biasanya mengakalinya dengan melakukan hal-hal yang saya sukai, seperti berkumpul bersama teman dan menonton variety show asal Korea. Setelah 'agak lupa' dengan ketakutan, saya mulai berbenah kembali mencari jalan keluar. Sebenarnya, saya merasa ketakutan-ketakutan yang kadang berlebihan dalam diri saya justru mendorong saya untuk lebih banyak belajar dan intropeksi diri. Seperti halnya gula, bila kita tidak berlebihan mengonsumsinya, tentunya kita terhindar dari penyakit. Menurut saya, hal-hal yang negatif dapat memberikan dampak yang baik, tinggal kita yang menentukan dosis yang tepat. Sekarang, pilihan ada di tangan kita. :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar