Jumat, 11 Januari 2013

Slow Motion

Darkness caught the cold in my head;
Dawn was fallen and I smell natural breath;
Wind ran faster and never looked back;
Time spin then, it was transformed as a wall cloistering us from escapade;
Noone think to get seperated;
Nobody wants to get awake;
because we need to live in the cage,
just stay and stare...

This simple short poem was made when I had done all my tasks in the office in the afternoon. At that time, I feel time flied slowly. People and things all arround moved in slow motion. The ambience, surely could made us fall asleep. In order to getting awake, I made some "bruyants' in the recycled paper, then Voilà!

Rabu, 27 Juni 2012

Mental Block

Saya pernah menemui artikel mengenai 'penyakit' ini dua tahun lalu di sebuah tabloid kesehatan, tepat saat saya sedang jatuh-bangun membuat skripsi. haha. Mental block dapat menjangkit siapapun baik tua maupun muda. Dari dua kata mental 'mental' dan block 'penghalang', kita dapat menebak gambaran dari 'penyakit' ini. Dalam KBBI, mental memiliki arti bersangkutan dengan batin dan watak manusia, sedangkan  penghalang memiliki arti yang menghalang. 

Mental block menjadi musuh terbesar bagi para pekerja masa ini yang menuntut semua orang untuk berpikir di luar batas atau sering kita kenal dengan istilah 'think out of the box'. Persaingan ekonomi yang super ketat mengharuskan para pengusaha untuk berproduksi lebih cepat dan berlomba memenuhi hasrat para konsumen. Para pekerja pun dituntut untuk memenuhi ritme bekerja yang lebih cepat. Para pelajar tak luput dari jeratan mental block. Sistem ajaran di negara kita menuntut para pelajar untuk mendapatkan hasil akhir yang memuaskan. Sekarang proses bukan lagi menjadi hal yang penting. Hasil akhirlah yang menentukan siapa 'si pintar' dan 'si bodoh'. Tentunya, bukan sistem saja yang membuat hasil akhir menjadi sangat penting di mata masyarakat, melainkan masyarakat itu sendiri. Coba kita tengok iklan lowongan kerja di koran maupun di media online. Sebagian besar memuat IPK minimum angka tertentu. Tentunya, ukuran IPK menjadi momok penting dalam penentuan pencari pekerja. Karena itu, pertanyaan "berapa IPK-mu?" menjadi hal umum bagi para fresh graduate. Tuntutan-tuntutan itu menjadi salah satu ketakutan para pelajar dan mahasiswa karena prestasi mereka diukur dari hasil akhir. Mereka yang tidak mendapatkan hasil akhir memuaskan menjadi minder karena sudah tertanam di benak mereka bahwa yang pintar itu yang memiliki hasil akhir bagus. Padahal, di dunia kerja yang saya jalani, pintar bukanlah nilai mutlak, namun yang paling penting adalah seberapa cepat kita beradaptasi dan menyerap pekerjaan.


Ketakutan dan sikap pesimis dapat membangun tembok-tembok dalam pikiran kita. Tembok-tembok itulah nantinya yang membatasi pikiran dan pandangan kita. Kita justru kerap menemukan diri kita sudah terkungkung dengan paham konvensional yang berlaku di tengah masyarakat dan rutinitas yang menyebabkan diri kita tidak kreatif dan optimis. Terobosan, pembaruan, dan inovasi adalah tuntutan zaman sekarang. kita tidak lagi menganggap bahwa semua terobosan yang kita hasilkan adalah hasil kreativitas yang istimewa.   Secepatnya, kita harus segera berpikir bahwa 'kotak' yang kita rasa mengurung diri kita hanyalah paradigma yang perlu dicabut dari benak kita. Di saat sekarang, setiap orang harus cerdik, tidak pernah boleh berhenti, dan tidak bisa merasa berada di titik kepuasan atau zona nyaman.
(http://female.kompas.com/read/2011/06/24/20390562/Membebaskan.Diri.dari.Mental.Block.)

Saya sendiri pun pernah beberapa kali mengalami mental block. Jujur saja, hal itu membuat saya kalah sebelum berperang. Ketakutan akan kegagalan menghalangi saya untuk maju dan memilih mundur. Namun, saya memilih untuk berlarut-larut dalam jurang pesismis. Begitu ketakutan menghadang, saya biasanya mengakalinya dengan melakukan hal-hal yang saya sukai, seperti berkumpul bersama teman dan menonton variety show asal Korea. Setelah 'agak lupa' dengan ketakutan, saya mulai berbenah kembali mencari jalan keluar. Sebenarnya, saya merasa ketakutan-ketakutan yang kadang berlebihan dalam diri saya justru mendorong saya untuk lebih banyak belajar dan intropeksi diri. Seperti halnya gula, bila kita tidak berlebihan mengonsumsinya, tentunya kita terhindar dari penyakit. Menurut saya, hal-hal yang negatif dapat memberikan dampak yang baik, tinggal kita yang menentukan dosis yang tepat. Sekarang, pilihan ada di tangan kita. :) 

Minggu, 24 Juni 2012

La Vita e Bella


Hidup itu memang indah. Kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi, namun jangan harap semua prediksi anda benar semua. Kalau dipikir-pikir, hidup itu seperti permainan, adakalanya kita gagal atau menang. Bagi saya, hidup itu seperti blessing in disguise. Kadang kita dihadapkan dengan pilihan dan jalan yang tidak diinginkan, namun siapa yang sangka kalau jalan ‘beda’ itu memberi kita banyak pelajaran. Sewaktu lulus sekolah menengah, saya diterima di dua perguruan tinggi dengan jurusan yang sangat bertolak –belakang, jurusan akuntasi di universitas swasta dan jurusan sastra Prancis di universitas negeri. Entah apa yang terjadi di dalam diri saya, saya memiliki firasat kuat pada jurusan sastra hingga pilihan saya jatuh pada jurusan tersebut. Alasannya adalah, pertama saya suka sekali membaca buku sastra dan novel, kedua saya merasa belajar di universitas negeri akan membuka peluang saya untuk belajar dari dosen-dosen yang terbaik. Ternyata prediksi saya memang benar, masa-masa kuliah saya benar-benar terberkati. 

Sayangnya, firasat kuat saya tidak muncul kedua kalinya saat saya hendak menandatangi ikatan dinas dengan sebuah bank swasta untuk posisi personal banker. Karena saya mengikuti development program, ikatan dinas adalah hal wajib untuk development program sebagai harga pelatihan yang saya ikuti 2 minggu lamanya. Saya tidak berpikir panjang memilih pekerjaan ini karena takut menganggur lebih lama. Kata bapak saya, belajar hal-hal yang baru bisa memperkaya kemampuan, jadi saya setujui kontrak kerja itu. Selain itu, perusahaan tersebut memberikan fasilitas kesehatan yang bagus dan tentunya gaji yang lumayan untuk seorang fresh graduate

Saya ditempatkan di kota tempat saya tinggal. Selama ini, saya sekolah, kursus, dan beraktivitas di kota seberang jadi saya kurang tahu banyak tentang Tangerang. Padahal, pekerjaan ini menuntut saya tahu banyak dan mengeksplor potensi beberapa wilayah dari kota ini. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan ini mempertemukan saya dengan orang-orang dari berbagai profesi, dari ahli fengshui, pemilik usaha warnet online game, pemilik tambang batu bara di Kalimantan, kokoh dan cici toko-toko bangunan, Pak Haji pemilik sekolah islam di Karawaci yang dulunya tuan tanah di perumahan di Tangerang yang menamakan dirinya sebagai ‘city’, pengelola-pengelola pabrik asal Myanmar dan India, rentenir pasar, sampai buruh pabrik. Tentunya, mereka memiliki kisah yang berbeda di setiap pertemuan kami. Tak pelak, mereka menceritakan kisah hidupnya dengan saya, kadang lucu, pedih, bahkan menginspirasi. Namun, jangan pikir semua yang saya kunjungi menyambut baik kedatangan saya. Terkadang saya menerima sindiran halus sampai ayunan tangan mengusir diikuti dengan ucapan “sana, sana, pergi..” 

Saya sangat terkejut ketika menemukan salah satu buruh pabrik yang meminta saya menandatangani formulir pengajuan rekening tabungan gaji ketika saya mengarahkan dirinya tanda tangan di formulir tersebut. Sayangnya, bukan satu orang saja yang meminta hal tersebut, tapi juga beberapa dari mereka. Sedih sekali melihat bahwa ada sebagian orang yang tidak lancar tanda tangan, padahal di mata hukum tanda tangan sangatlah penting untuk menentukan sahih dan tidaknya suatu dokumen. Ini adalah salah satu bukti kurang meratanya pendidikan di negara kita. 

Semua yang telah saya jalani selama bekerja sebagai marketing bank tentunya blessing in disguise buat saya. Walaupun awalnya ragu-ragu memutuskan, tak disangka justru 8 bulan saya dioenuhi dengan hal-hal yang baru. Tak peduli pahit, manis, dan asam yang saya rasakan, hanya satu kalimat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan saya: terima kasih, Tuhan! :)

Senin, 04 April 2011

Akar, 1 oleh Gus tf

Salam bagimu, kemarau. Bakar juga aku,
si bangkai daun. Tak tahan mendengar lirih
tangis sang tangkai. Setiap malam, merintih
memanggil-manggil menggapai-gapai. Salam,

Salam bagimu... Tidak! Lihat aku: akar!
Tak henti, merengkah batu menembus padas.
Tak putus, menerobos waktu mengulur tunas.

Salam bagimu, kemarau. Tebas juga aku,
si tangkai daun. Tak tahan mendengar derak
retak sang batang. Setiap siang, melengking
mengerut-ngerak meregang-regang. Salam....

Tidak! Lihat aku: akar! Tak henti, Tak putus
memanggul batas. Memisah. Mana aku mana
kalian? Berzaman-zaman. Menjulur, menjalar,
entah ke mana entah dari mana - di kedalaman.

Payakumbuh, 1996

Puisi ini memberikan percikan semangat pada saya, seperti memakan puding mangga di saat tenggorokan saya haus dan kering. Nikmat sekali. Agak berlebihan memang. Haha! Puisi ini menunjukkan pada saya suatu hal: walaupun beberapa bagian dalam diri kita meranggas karena teriknya kemarau kehidupan, setidaknya akar dalam diri kita tidak meranggas dan terus menjalar, kemudian menumbuhkan daun-daun baru. Puisi ini juga mengingatkan saya pada satu peribahasa: gugur satu, tumbuh seribu. Tentu saja, 'yang seribu' itu tumbuh berkat kerja si akar.

lalu, akar seperti apakah yang menjalar dalam diri kita? Bagi saya, akar yang menjalar di dalam tubuh saya adalah mimpi dan harapan. Satu per satu usaha saya saya mengering dan jatuh, namun Mimpi dan harapan lah yang kembali menumbuhkan dan melahirkan usaha-usaha yang baru. Semoga puisi ini juga memberi efek yang sama kepada pembaca. Terus bermimpi! Teruslah menjalar hai akar!

Rabu, 16 Maret 2011

Following The Wrong God Home Mengiring Dewa yang Sesat karya Catherine Lim

Singapura, negara yang makmur dan teratur. Tampak luar Singapura menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan di tengah masyarakatnya. Namun, keindahan dan keteraturan tak lepas dari campur tangan besi pemerintah Singapura yang menjunjung tinggi kehormatan. Masyarakat pun tunduk dan patuh pada pemerintah yang mampu memberikan segalanya. Tidak ada yang berani berlaku senonoh dan lari dari norma yang berlaku. Di tengah masyarakat inilah hidup seorang perempuan muda cantik, pintar, yang bernama Yin Ling yang akan melanggar segala aturan dan norma umum.

Yin Ling bukan berasal dari keluarga yang kaya. Ia tinggal di sebuah apartamen sederhana bersama ibunya, Alice Fong dan pengasuhnya yang renta, Ah Heng Cheh. Ia juga memiliki seorang kakak laki-laki yang kini telah berkeluarga. Ling memiliki seorang tunangan yang “sempurna” di mata seluruh warga di Singapura. Vincent Chee, seorang pemuda yang pintar dan kaya raya sedang menapaki kariernya di panggung politik. Ia begitu mengaggumi dan mencintai Ling. Satu per satu buah cinta Vincent terus mengalir dan menghujani Ling, di antaranya hadiah-hadiah mahal, bantuan pada keluarga Ling dan pengasuhnya, Ah Heng Cheh. Lambat laun semua yang telah diberikan Vincent pada Ling bukan lagi ungkapan cinta, namun sebuah rantai yang mengikat Ling lebih kencang, dan lebih kencang lagi setiap waktunya. Ling diam-diam jatuh cinta pada Profesor Ben Gallagher, dosen Amerika yang berani dan blak-blakan yang nantinya akan terpesona oleh Ling dan puisi-puisi rahasianya. Ling harus membendung dan melupakan cintanya pada Ben, bukan karena cintanya pada Vincent. Tapi, karena deretan-deretan hadiah Vincent yang menuntut balas budi, juga karena kehormatan dan harga diri yang dijunjung tinggi oleh orang-orang di sekitar Ling.

Ah Heng Cheh, seorang pengasuh tua yang telah mengabdi lama pada keluarga Ling. Ling sangat menyayangi pengasuh tua ini. Ia memiliki patung dewa yang sangat ia sayangi. Patung dewa milik Ah Heng Cheh tidaklah rupawan dan kecil seperti dewa-dewa lainnya yang ada di kuil-kuil. Ia pernah berjanji pada dewanya untuk mengantarkannya pulang. Di usianya yang renta ia berobsesi mencari tempat tinggal sang dewa bersama dengan Ling sebelum ia meninggal. Sayangnya, pencarian ini bukanlah perkara yang mudah. Kuil-kuil yang mereka datangi menolak kehadiran dewa kecil itu.

Roman ini menggambarkan keadaan masyarakat dan pemerintahan Singapura melalui gambaran tokoh-tokohnya. Gambaran keadaan kota yang rapi dan teratur dan masyarakat yang patuh menunjukkan bahwa terdapat “kekuatan” yang siap menghalau hal-hal yang berbeda dan yang membangkang. Seolah-olah memperlihatkan adanya ketakutan di tengah masyarakat untuk keluar dari aturan dan norma berlaku. ‘diktaktor’ mungkin dapat menjadi kata kuncinya. Vincent Chee, MTC, Menteri adalah tokoh-tokoh menunjukkan sikap diktaktor mereka pada tokoh-tokoh yang lemah. Vincent Chee menjadi salah satu contoh ‘diktaktor’ terselubung ‘sinterklas’ bagi Ling yang mengharapkan kebebasan dan kebahagiaan.

Ling yang tunduk pada Vincent akhirnya bebas dan lepas berkat jasa Ah Heng Cheh. Kisah ini berawal dari tanah petak milik Ah Heng Cheh yang pada awalnya dianggap tidak berharga ditaksir oleh perusahaan asing yang ingin membeli tanah itu. Proyek ini sangatlah penting karena merupakan investasi besar bagi negara sehingga semua pihak berusaha membujuk Ah Heng Cheh untuk menjualnya. Sayang, Ah Heng Cheh berkeras mempertahankannya karena baginya, tanah itu cocok sebagai tempat tinggal dewanya. Pada waktu akan tutup usia, ia mewariskannya pada Vincent, yang nantinya akan mempengaruhi karir politk Vincent. Tindakan Ah Heng Cheh menunjukkan bahwa ia ingin membayar perbuatan-perbuatan budi dan bantuan Vincent pada Ling dan keluarganya sehingga Ling dapat lepas dan bebas.

Lalu, bagaimana dengan nasib patung dewa Ah Heng Cheh yang tersesat? Ling mengantarkannya pulang ke sebuah kuil di Cina. Pada saat perjalanan pulang, Ling mengalami kecelakaan pesawat dan hilang. Tugasnya membawa pulang patung dewa Ah Cheng Ah sudah selesai. Ling tidak lagi tersesat di tengah kungkungan aturan di masyarakat, juga di tengah kungkungan Vincent.

Tulisan di atas merupakan sebagian kecil dari roman ini. Roman ini memiliki banyak hal yang dapat ditelusuri dan digali. Roman yang berlatar belakang di sebuah negara bekas koloni di Asia Tenggara ini tidak lepas dari masalah adat timur yang menjunjung tinggi kehormatan, budaya patuh terhadap leluhur, multikulturalisme, krisis identitas, ketidaksetaraan gender, dan relasi kuasa yang sangat kental. Roman ini dapat membuka mata kita yang juga tinggal di Asia Tenggara mengenai kehidupan masyarakat timur dan hubungan antara masyarakat dengan pemimpin mereka. Lalu, apakah tokoh Ling merupakan simbol mereka yang ‘lemah’ di tengah-tengah masyarakat Singapura? berkaca pada roman ini, apakah salah satu dari kita merupakan “Ling” di tempat kita bernaung? Ataukah anda pernah menemukan ‘Ling’ lainnya di sekitar anda?

Senin, 08 Maret 2010

tiga minggu yang lalu, sekitar pertengahan februari, tengah malam, adik saya melihat seekor tikus lari-lari di kompor dapur rumah saya. tikus hitam kecil dengan buntut panjang. jijik sekali. geli. tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. ini bukan berlebihan tapi benar begitu rasanya setelah lihat ia menari-nari dengan senangnya. kejadian itu membuat saya selalu hati-hati jika keluar kamar karena takut kalau nanti papasan dengan tikus itu. keesokan harinya, si mama memutuskan untuk beres-beres lemari bawah tangga dan teras belakang supaya bisa menemukan sarang tikus sialan itu. sayangnya, kami tidak menemukannya. karena sudah terlanjur beres-beres,kamipun mengumpulkan koran-koran bekas, sepatu bekas, dan baju bekas untuk dikeluarkan dari rumah. mama menyuruh saya siap siaga kalau ada abang barang bekas lewat depan rumah.

Senin, 18 Januari 2010

Manusia dan Rencana

rencana. salah satu yang dibuat manusia untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. mereka menentukan, memilih, mentyusun dari yang kecil, sedang, hingga yang paling besar. rencana membuat manusia bersemangat, hidup, bergairah karena mereka tahu mereka akan meraih mimpi mereka. satu persatu mereka kerjakan. mereka jalankan hati-hati namun kadang-kadang terburu-buru oleh waktu. semua sudah dipikirkan, ditelaah, dan dipahami. namun, ketika setengah perjalanan rencana sudah dijalankan, manusia mulai goyah, takut, dan ragu.karena setengah perjalanan tersebut belum memperlihatkan hasil atau progres apapun. bukan keuntungan yang didapatkan melainkan rintangan-rintangan yang terus mengampiri. semangat mereka mulai kendur. kemudian, mereka mulai bertanya apakah jalan ini sudah benar? apakah saya harus mundur dan mulai kembali dari nol? atau saya tinggalkan saja? pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berputar di kepala mereka sampai mereka sendiri tak mampu mengendalikannya. pada saat itu, mereka melakukan tiga hal. pertama , mereka akan duduk termangu terus berpikir harus bagaimana tanpa melakukan suatu tindakan. kedua, mereka mencari pelarian, hal-hal yang lebih menyenangkan sehingga rencana mereka terbengkalai. ketiga, duduk menangis, meraung-raung sampai akhirnya memutuskan untuk berdiri kembali. ketika mereka sudah jatuh, merasa letih, sangat sulit untuk bangkit kembali, untuk memulai dari awal atau meneruskan apa yang ada di depan mata. mereka mulai bertanya-tanya kembali jalan mana yang harus dipilih. kemudian bertanya kembali apakah sudah benar atau salah?

rencana bukanlah tujuan hidup. ia hanyalah sebuah media untuk mencapai impian kita. ketika rencana manusia terhambat maupun gagal, bukan berarti manusia juga gagal dalam meraih apa yang mereka inginkan. manusia dikaruniakan akal dan pikiran yang melebihi mahluk lain di dunia ini. jika satu rencana gagal, mari buat rencana lain atau perbaiki rencana yang lama. jangan sampai mundur dan gagalnya satu rencana membuat manusia tidak meraih tujuan hidupnya. bila manusia sudah jatuh, biarkan harapan yang membangkitkan mereka kembali. harapan yang menyadarkan mereka kembali akan tujuan hidup yang sudah mereka rencanakan.