Rabu, 16 Maret 2011

Following The Wrong God Home Mengiring Dewa yang Sesat karya Catherine Lim

Singapura, negara yang makmur dan teratur. Tampak luar Singapura menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan di tengah masyarakatnya. Namun, keindahan dan keteraturan tak lepas dari campur tangan besi pemerintah Singapura yang menjunjung tinggi kehormatan. Masyarakat pun tunduk dan patuh pada pemerintah yang mampu memberikan segalanya. Tidak ada yang berani berlaku senonoh dan lari dari norma yang berlaku. Di tengah masyarakat inilah hidup seorang perempuan muda cantik, pintar, yang bernama Yin Ling yang akan melanggar segala aturan dan norma umum.

Yin Ling bukan berasal dari keluarga yang kaya. Ia tinggal di sebuah apartamen sederhana bersama ibunya, Alice Fong dan pengasuhnya yang renta, Ah Heng Cheh. Ia juga memiliki seorang kakak laki-laki yang kini telah berkeluarga. Ling memiliki seorang tunangan yang “sempurna” di mata seluruh warga di Singapura. Vincent Chee, seorang pemuda yang pintar dan kaya raya sedang menapaki kariernya di panggung politik. Ia begitu mengaggumi dan mencintai Ling. Satu per satu buah cinta Vincent terus mengalir dan menghujani Ling, di antaranya hadiah-hadiah mahal, bantuan pada keluarga Ling dan pengasuhnya, Ah Heng Cheh. Lambat laun semua yang telah diberikan Vincent pada Ling bukan lagi ungkapan cinta, namun sebuah rantai yang mengikat Ling lebih kencang, dan lebih kencang lagi setiap waktunya. Ling diam-diam jatuh cinta pada Profesor Ben Gallagher, dosen Amerika yang berani dan blak-blakan yang nantinya akan terpesona oleh Ling dan puisi-puisi rahasianya. Ling harus membendung dan melupakan cintanya pada Ben, bukan karena cintanya pada Vincent. Tapi, karena deretan-deretan hadiah Vincent yang menuntut balas budi, juga karena kehormatan dan harga diri yang dijunjung tinggi oleh orang-orang di sekitar Ling.

Ah Heng Cheh, seorang pengasuh tua yang telah mengabdi lama pada keluarga Ling. Ling sangat menyayangi pengasuh tua ini. Ia memiliki patung dewa yang sangat ia sayangi. Patung dewa milik Ah Heng Cheh tidaklah rupawan dan kecil seperti dewa-dewa lainnya yang ada di kuil-kuil. Ia pernah berjanji pada dewanya untuk mengantarkannya pulang. Di usianya yang renta ia berobsesi mencari tempat tinggal sang dewa bersama dengan Ling sebelum ia meninggal. Sayangnya, pencarian ini bukanlah perkara yang mudah. Kuil-kuil yang mereka datangi menolak kehadiran dewa kecil itu.

Roman ini menggambarkan keadaan masyarakat dan pemerintahan Singapura melalui gambaran tokoh-tokohnya. Gambaran keadaan kota yang rapi dan teratur dan masyarakat yang patuh menunjukkan bahwa terdapat “kekuatan” yang siap menghalau hal-hal yang berbeda dan yang membangkang. Seolah-olah memperlihatkan adanya ketakutan di tengah masyarakat untuk keluar dari aturan dan norma berlaku. ‘diktaktor’ mungkin dapat menjadi kata kuncinya. Vincent Chee, MTC, Menteri adalah tokoh-tokoh menunjukkan sikap diktaktor mereka pada tokoh-tokoh yang lemah. Vincent Chee menjadi salah satu contoh ‘diktaktor’ terselubung ‘sinterklas’ bagi Ling yang mengharapkan kebebasan dan kebahagiaan.

Ling yang tunduk pada Vincent akhirnya bebas dan lepas berkat jasa Ah Heng Cheh. Kisah ini berawal dari tanah petak milik Ah Heng Cheh yang pada awalnya dianggap tidak berharga ditaksir oleh perusahaan asing yang ingin membeli tanah itu. Proyek ini sangatlah penting karena merupakan investasi besar bagi negara sehingga semua pihak berusaha membujuk Ah Heng Cheh untuk menjualnya. Sayang, Ah Heng Cheh berkeras mempertahankannya karena baginya, tanah itu cocok sebagai tempat tinggal dewanya. Pada waktu akan tutup usia, ia mewariskannya pada Vincent, yang nantinya akan mempengaruhi karir politk Vincent. Tindakan Ah Heng Cheh menunjukkan bahwa ia ingin membayar perbuatan-perbuatan budi dan bantuan Vincent pada Ling dan keluarganya sehingga Ling dapat lepas dan bebas.

Lalu, bagaimana dengan nasib patung dewa Ah Heng Cheh yang tersesat? Ling mengantarkannya pulang ke sebuah kuil di Cina. Pada saat perjalanan pulang, Ling mengalami kecelakaan pesawat dan hilang. Tugasnya membawa pulang patung dewa Ah Cheng Ah sudah selesai. Ling tidak lagi tersesat di tengah kungkungan aturan di masyarakat, juga di tengah kungkungan Vincent.

Tulisan di atas merupakan sebagian kecil dari roman ini. Roman ini memiliki banyak hal yang dapat ditelusuri dan digali. Roman yang berlatar belakang di sebuah negara bekas koloni di Asia Tenggara ini tidak lepas dari masalah adat timur yang menjunjung tinggi kehormatan, budaya patuh terhadap leluhur, multikulturalisme, krisis identitas, ketidaksetaraan gender, dan relasi kuasa yang sangat kental. Roman ini dapat membuka mata kita yang juga tinggal di Asia Tenggara mengenai kehidupan masyarakat timur dan hubungan antara masyarakat dengan pemimpin mereka. Lalu, apakah tokoh Ling merupakan simbol mereka yang ‘lemah’ di tengah-tengah masyarakat Singapura? berkaca pada roman ini, apakah salah satu dari kita merupakan “Ling” di tempat kita bernaung? Ataukah anda pernah menemukan ‘Ling’ lainnya di sekitar anda?