Senin, 04 April 2011

Akar, 1 oleh Gus tf

Salam bagimu, kemarau. Bakar juga aku,
si bangkai daun. Tak tahan mendengar lirih
tangis sang tangkai. Setiap malam, merintih
memanggil-manggil menggapai-gapai. Salam,

Salam bagimu... Tidak! Lihat aku: akar!
Tak henti, merengkah batu menembus padas.
Tak putus, menerobos waktu mengulur tunas.

Salam bagimu, kemarau. Tebas juga aku,
si tangkai daun. Tak tahan mendengar derak
retak sang batang. Setiap siang, melengking
mengerut-ngerak meregang-regang. Salam....

Tidak! Lihat aku: akar! Tak henti, Tak putus
memanggul batas. Memisah. Mana aku mana
kalian? Berzaman-zaman. Menjulur, menjalar,
entah ke mana entah dari mana - di kedalaman.

Payakumbuh, 1996

Puisi ini memberikan percikan semangat pada saya, seperti memakan puding mangga di saat tenggorokan saya haus dan kering. Nikmat sekali. Agak berlebihan memang. Haha! Puisi ini menunjukkan pada saya suatu hal: walaupun beberapa bagian dalam diri kita meranggas karena teriknya kemarau kehidupan, setidaknya akar dalam diri kita tidak meranggas dan terus menjalar, kemudian menumbuhkan daun-daun baru. Puisi ini juga mengingatkan saya pada satu peribahasa: gugur satu, tumbuh seribu. Tentu saja, 'yang seribu' itu tumbuh berkat kerja si akar.

lalu, akar seperti apakah yang menjalar dalam diri kita? Bagi saya, akar yang menjalar di dalam tubuh saya adalah mimpi dan harapan. Satu per satu usaha saya saya mengering dan jatuh, namun Mimpi dan harapan lah yang kembali menumbuhkan dan melahirkan usaha-usaha yang baru. Semoga puisi ini juga memberi efek yang sama kepada pembaca. Terus bermimpi! Teruslah menjalar hai akar!

1 komentar:

  1. what a great post!
    kekeeeett, tulen anak sastra ya lo, postingannya beginian, bahasanya nyastra banget!! mantap laaaahhh...
    btw gue juga suka puisinya, memberi kesan adanya semangat yg akan selalu muncul setiap kali kita down
    :)

    BalasHapus